"Sekarang kamu sedang mendengarkan Radio Universitas Tarumanagara (VOMS) Live Streaming dan juga dapat dinikmati via Radio 1098 AM"

Freedom Of The Press

Senin, 04 Oktober 2010

Saat ini kebebasan Pers sangat di idamkan oleh semua pihak, karena pers sebagai pengontrol pemerintah dalm hal pembuatan kebijakan, yang berdampak langsung kepada masayarakat. Ini berbeda dengan fungsi pers dapa zaman Orde Lama, dimana pers dinilai mendapatkan ketidak adilan dalam menyuarakan pendapat.


Pengertian :

Kebebasan pers (bahasa Inggris: freedom of the press) adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.
Freedom Of The Press

Indonesia

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Fungsi dan peranan pers Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial . Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahuimenegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaanmengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi( the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan pers itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers dari pemerintah. Menurut tokoh pers, jakob oetama , kebebsan pers menjadi syarat mutlak agar pers secara optimal dapat melakukan pernannya. Sulit dibayangkan bagaiman peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap kebebasan pers. Pemerintah orde baru di Indonesia sebagai rezim pemerintahn yang sangat membatasi kebebasan pers . hl ini terlihat, dengan keluarnya Peraturna Menteri Penerangan No. 1 tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha penerbitan Pers (SIUPP), yang dalam praktiknya ternyata menjadi senjata ampuh untuk mengontrol isi redaksional pers dan pembredelan. Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk , namun tanpa pers bebas yang ada hanya celaka. Oleh karena salah satu fungsinya ialah melakukan kontrol sosial itulah, pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segal sesuatu yang menrutnya tidak beres dalam segala persoalan. Karena itu, ada anggapan bahwa pers lebih suka memberitakan hah-hal yang slah daripada yang benar. Pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial dan ketinggalan jaman.Karena kenyataannya, pers sekarang juga memberitakan keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah berbagai kesulitan.


Setiap 3 Mei, insan pers di seluruh dunia merayakan Hari Kebebasan Pers. Sayangnya, Press Freedom Day, yang dideklarasikan UNESCO PBB sejak 1993, tak terlalu familiar di kalangan pers. Di Indonesia,cuma kalangan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) yang berlatar belakang aktivis yang mengadakan berbagai acara menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia. Selebihnya hanya tahu Hari Pers Nasional, bahkan ada yang tak peduli terhadap hari-hari yang bersejarah dalam pers nasional.

Kepedulian AJI terhadap Press Freedom merupakan hal yang wajar. Platform AJI, yang berisi tiga pilar, juga mencantumkan kebebasan pers pada urutan pertama, disusul profesionalisme dan kesejahteraan jurnalis. Apalagi AJI dibentuk berawal dari gerakan perlawanan pembredelan media oleh rezim Soeharto pada 1994.

Indonesia baru secara resmi menerapkan prinsip pers bebas ketika Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers lahir. Kelahiran undang-undang sebagai regulasi pengganti Undang-Undang Pokok Pers ini bertujuan meningkatkan kemampuan kontrol pers terhadap pemerintah dan berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi. Pemerintah bahkan mencabut syarat memiliki SIUPP untuk memberi ruang kepada setiap warga negara berusaha di bidang media. Sehingga tumbuhlah beragam perusahaan media bagai jamur di musim hujan.

Bunyi pasal 9 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan setiap orang berhak mendirikan perusahaan pers, telah disalahtafsirkan. Akibatnya, pers tak terkontrol dan dijadikan celah untuk mencari keuntungan dengan dalih pengembangan usaha pers. Maka sebagian besar media yang lahir umumnya pers kuning yang berkonotasi negatif.

Pemahaman yang keliru terhadap kebebasan pers tidak hanya melumuri idealisme pers. Ada banyak wartawan gadungan, yang hanya berbekal kartu media, bergerilya mencari mangsa. Korbannya tidak hanya para pejabat atau pengusaha, kepala sekolah hingga kepala desa pun tak luput jadi korban. Wajar jika ada yang menuding pers bebas sudah tak terkontrol. 

Anehnya, pers model begini sangat eksis dan ditakuti para pejabat yang bermasalah. Sehingga timbul kesan bahwa prototipe pers kuning adalah cerminan pers sebenarnya. Dewan Pers mencatat, ada 825 penerbitan dan 2.000 radio serta 65 stasiun televisi berdiri hingga akhir 2009. Dari jumlah tersebut, hanya 30 persen media cetak yang aktif dan 10 persen TV layak bisnis. Demikian juga dengan kondisi perusahaan media radio. 

Sumber : wikipedia.org ; tempointeraktif.com ; inilah.com ; youtube.com